Fenomena di Jepang anak makin malas ke sekolah, ini 5 faktanya
AGEN JUDI ONLINE - Berbibacara soal pendidikan dengan sistem yang baik, tentu nama Finlandia bakal muncul. Hal ini karena negara dingin ini terbukti berhasil mencetak para siswanya menjadi para jawara.Namun demikian, negara ini bukan satu-satunya yang terhebat. Selain Finlandia ada juga Jepang. Negeri Sakura ini juga bisa dikatakan memiliki sistem pendidikan yang terbukti keren.
Kehebatan pendidikan Jepang tidak terjadi secara kebetulan, melainkan lahir dari sebuah sistem yang memang dibuat. Uniknya, sistem yang melahirkan pendidikan hebat di negara itu lahir dari hal-hal yang bisa dibilang sangat biasa. Bahkan, bisa ditiru dengan mudah oleh setiap negara.
Namun di balik kesuksesan sistem pendidikan di Jepang, ada beberapa murid yang ternyata semakin malas pergi ke sekolah. Menurut laporan BBC.com, beberapa murid di Jepang, semakin banyak yang menolak pergi ke sekolah atau "futoko", sehingga timbul pertanyaan apakah ini disebabkan karena sistem sekolah atau masalah para murid sendiri.
Hal ini dialami Yuta Ito. Selama beberapa bulan dia enggan masuk sekolah SD karena dilecehkan dan sering kali berkelahi dengan teman sekelasnya. Yuta adalah satu dari banyak futoko Jepang yang didefinisikan kementerian pendidikan Jepang sebagai anak yang tidak ke sekolah selama lebih dari 30 hari.
Sikap terhadap futoko telah berubah dalam puluhan tahun terakhir. Sampai tahun 1992 mereka menolak bersekolah atau biasa disebut tokokyoshi atau penolakan.
Bahkan hal ini dipandang sebagai penyakit jiwa. Akhirnya, pada tahun 1997, terminologinya diubah menjadi futoko yang lebih netral, yang berarti tidak hadir.
Hal ini menimbulkan banyak pertanyaan dan perdebatan.
Sebenarnya mengapa begitu banyak anak menolak ke sekolah di Jepang? Berikut faktanya seperti rangkum dari laman BBC.com, Kamis (26/12).
1. Banyak sekolah yang masih mengatur pakaian muridnya.
Banyak sekolah di Jepang mengendalikan semua aspek penampilan murid. Dari memaksa mencat rambut coklat menjadi hitam, melarang mengenakan stoking atau mantel, bahkan menentukan warna baju dalam.
2. Sekolah terlalu mengeksploitasi murid layaknya buruh.
Aturan yang dikenal sebagai "aturan sekolah hitam", mewakili istilah populer yang dipakai untuk menggambarkan bagaimana perusahaan mengeksploitasi buruh.
Namun hal ini perlahan luntur. Salah satu contohnya adalah murid Tamagawa Free School Tokyo. Mereka tidak perlu memakai seragam dan bebas memilih kegiatannya, sesuai kesepakatan antara sekolah, orangtua dan murid. Mereka didorong untuk mengembangkan keterampilan dan keinginan pribadinya.
3. Ruang kelas dinilai terlalu membosankan bagi murid.
Banyak murid mereka tidak nyaman di ruang kelas yang penuh, di mana mereka harus melakukan semua hal bersama-sama dalam ruang yang sempit.
Ruang kelas berisi komputer untuk belajar bahasa Jepang dan matematika, dengan perpustakaan berisi buku dan komik Jepang manga. Suasananya sangat tidak resmi, mirip sebuah keluarga besar. Para murid bertemu di ruang bersama untuk ngobrol dan main bersama.
4. Kementrian Pendidikan Jepang terlalu menganggap remeh persolan futoko.
Pada Agustus 2019, kelompok pegiat "Black kosoku o nakuso! Project" atau "Mari hapuskan aturan sekolah hitam!" mengajukan petisi online kepada kementerian pendidikan, ditandatangani lebih dari 60.000 orang. Menurut Profesor Ryo Uchida, ahli pendidikan di Nagoya University, kementerian pendidikan sekarang sepertinya menerima ketidakhadiran bukan sebagai ketidaknormalan, tetapi sebuah kecenderungan.
Dia memandang ini adalah pengakuan secara tersirat bahwa murid futoko bukanlah masalah. Mereka hanya bereaksi terhadap sistem pendidikan yang gagal memberikan suasana yang dapat merangkul siswa. Mereka mendesak dilakukannya penyelidikan terhadap aturan sekolah yang tidak masuk akal.
5. Tantangan yang dihadapi murid adalah besarnya kelas.
Di ruang kelas dengan sekitar 40 murid yang harus bersama-sama selama setahun, banyak hal dapat terjadi. Menurut Profesor Ryo Uchida, pertemanan adalah kunci agar dapat bertahan hidup di Jepang karena tingginya tingkat kepadatan penduduk.
Jika kamu tidak bisa bergaul atau bekerja sama dengan yang lainnya, kamu tidak bisa bertahan hidup. Ini bukan hanya terkait dengan sekolah, tetapi juga dengan sarana perhubungan umum, misalnya.