Korupsi Bansos Sumut Baru Menjabat Sudah Minta Suap
Jakarta - Sutrisno Pangaribuan mengaku tak tahu-menahu ketika mayoritas rekannya berubah sikap dalam rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Daerah pada pertengahan April 2015. Hak interpelasi terhadap Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho, yang berembus kencang, seharusnya diputuskan secara terbuka.
Namun, mereka memilih dukungan interpelasi dilakukan secara tertutup. Entah apa yang mengubah pilihan interpelasi itu. Sutrisno malah melenggang pergi dari ruang rapat paripurna DPRD Sumut di Jl Petisah Nomor 5 Medan, Sumatera Utara, karena voting interpelasi dilakukan tertutup.
Hasilnya, jumlah 57 orang yang mengusung suara interpelasi melorot menjadi 34 orang. "Saya dengar memang ada duit mengalir di sana, sekitar Rp 15-20 juta per kepala. Kecil. Tapi, yang pasti, tak jadi interpelasi," ucapnya ketika ditemui detikcom.
Sutrisno pantas menaruh curiga. Bau suap kian menyengat mendekati paripurna penentuan interpelasi saat itu. Beberapa anggota DPRD Sumut bolak-balik berkabar dengan Gatot dan orang-orang dekatnya.
Saat itu,anggotaDPRD Sumut periode 2014-2019 baru beberapa bulan menduduki kursi Dewan. Mereka menyoroti defisitanggaranAPBD Sumut yang mencapai Rp 51,426 miliar. Para anggota baru Dewan daerah ini mempertanyakan penggunaan uang itu.Padahal, pada DPRD periode sebelumnya, defisit APBD tersebut menjadi "peluru" untuk penggunaan hak interpelasi di Sumut. Namun dukungan untuk interpelasi itu gembos di tengah jalan.
Sumber di KPK menyebutkan beberapa anggota DPRD 2014-2019 minta sejumlah uang untuk mendinginkan tuntutan interpelasi. Ketua DPRD Sumut Ajib Shah menjadi penghubung beberapa anggota Dewan dengan Gatot."Si ketua DPRD inilah yang aktif pembicaraannya," ucapnya.
Pertemuan tersebut diawali dengan basa-basi politik mengenai tugas dan kewenangan masing-masing. Namun ujung pembicaraan adalah soal uang. Beberapa anggota DPRD Sumut sepakat minta duit Rp 20 miliar sebagai uang tutup mulut.
Keinginan ini tidak dapat dipenuhi. Gatot hanya mampu menyediakan Rp 12 miliar. Uang itu diambilkan dari beberapa pos satuan kerja pemerintah daerah (SKPD).
Sumber itu enggan memberikan perincian tentang pembagian uang. Hanya, penghadangan interpelasi itu menghabiskan dana Rp 800 juta. Sisanya entah ke mana. "Ada otaknya, ada duitnya yang mengalir ke DPRD, tapi kecil," tuturnya.
KPK sudah menetapkan Ajib sebagai tersangka, tapi belum jelas apakah terkait suap periode 2014-2015 atau periode sebelumnya. Rumahnya digeledah oleh KPK.Duit kecil ini pun tetap berhasil membendung interpelasi pada pertengahan Agustus 2015 itu. Sutrisno mengaku pihak yang hengkang di tengah rapat paripurna tak mendapat informasi lebih lanjut tentang nasib interpelasi. Namun bau busuk pembagian uang masih tercium tajam setelah interpelasi redam.
Ajib hingga pemeriksaan terakhir masih bungkam. Ia tak mau menyikapi lebih lanjut kasus yang membelitnya. "Tanya saja penyidik," ucap dia.
Sedangkan pengacara Gatot, Yanuar P. Wasesa, membantah kabar kliennya menebar duit demi pengamanan jabatan. Yang pasti, Gatot terjerat kasus di KPK dalam dugaan suap dan di Kejaksaan Agung dalam kasus program bantuan sosial Sumut.
Sementara itu, Pelaksana Tugas Wakil Ketua KPK Indriarto Seno Adji menyebutkan pihaknya mendalami kasus pimpinan DPRD Sumut secara keseluruhan. Ia enggan memberikan penjelasan aliran uang tersebut pada periode yang mana.
Saat itu,anggotaDPRD Sumut periode 2014-2019 baru beberapa bulan menduduki kursi Dewan. Mereka menyoroti defisitanggaranAPBD Sumut yang mencapai Rp 51,426 miliar. Para anggota baru Dewan daerah ini mempertanyakan penggunaan uang itu.Padahal, pada DPRD periode sebelumnya, defisit APBD tersebut menjadi "peluru" untuk penggunaan hak interpelasi di Sumut. Namun dukungan untuk interpelasi itu gembos di tengah jalan.
Sumber di KPK menyebutkan beberapa anggota DPRD 2014-2019 minta sejumlah uang untuk mendinginkan tuntutan interpelasi. Ketua DPRD Sumut Ajib Shah menjadi penghubung beberapa anggota Dewan dengan Gatot."Si ketua DPRD inilah yang aktif pembicaraannya," ucapnya.
Pertemuan tersebut diawali dengan basa-basi politik mengenai tugas dan kewenangan masing-masing. Namun ujung pembicaraan adalah soal uang. Beberapa anggota DPRD Sumut sepakat minta duit Rp 20 miliar sebagai uang tutup mulut.
Keinginan ini tidak dapat dipenuhi. Gatot hanya mampu menyediakan Rp 12 miliar. Uang itu diambilkan dari beberapa pos satuan kerja pemerintah daerah (SKPD).
Sumber itu enggan memberikan perincian tentang pembagian uang. Hanya, penghadangan interpelasi itu menghabiskan dana Rp 800 juta. Sisanya entah ke mana. "Ada otaknya, ada duitnya yang mengalir ke DPRD, tapi kecil," tuturnya.
KPK sudah menetapkan Ajib sebagai tersangka, tapi belum jelas apakah terkait suap periode 2014-2015 atau periode sebelumnya. Rumahnya digeledah oleh KPK.Duit kecil ini pun tetap berhasil membendung interpelasi pada pertengahan Agustus 2015 itu. Sutrisno mengaku pihak yang hengkang di tengah rapat paripurna tak mendapat informasi lebih lanjut tentang nasib interpelasi. Namun bau busuk pembagian uang masih tercium tajam setelah interpelasi redam.
Ajib hingga pemeriksaan terakhir masih bungkam. Ia tak mau menyikapi lebih lanjut kasus yang membelitnya. "Tanya saja penyidik," ucap dia.
Sedangkan pengacara Gatot, Yanuar P. Wasesa, membantah kabar kliennya menebar duit demi pengamanan jabatan. Yang pasti, Gatot terjerat kasus di KPK dalam dugaan suap dan di Kejaksaan Agung dalam kasus program bantuan sosial Sumut.
Sementara itu, Pelaksana Tugas Wakil Ketua KPK Indriarto Seno Adji menyebutkan pihaknya mendalami kasus pimpinan DPRD Sumut secara keseluruhan. Ia enggan memberikan penjelasan aliran uang tersebut pada periode yang mana.