Lika-liku Gay Di Depok Si Anak Monyet Jadi Dokter Kondom
Jakarta - Mungkin karena selalu tampil necis dan gerak tubuhnya agak gemulai, Deni Eka Saputra, 28 tahun, kerap dikira sebagai gay alias LSL (lelaki suka lelaki). Maklum, sehari-hari bujang kelahiran Bogor yang kini menetap di kawasan Cimanggis, Depok, itu kerap terlihat kongko dengan para LSL di mal-mal atau kafe di sekitar Depok. Ya, Deni atau biasa disapa Dennis adalah aktivis Yayasan Komunitas Aksi Kemanusiaan Indonesia, yang biasa mendampingi para pengidap HIV/AIDS di Kota Depok.
"Di antara mereka ada yang nekat mengajak saya kencan, padahal baru satu-dua kali bertemu," kata Dennis, diiringi senyum getir, saat berbincang dengan detikcom di Puskesmas Cimanggis, Kamis, 26 November, petang.
Di lain waktu, justru ada LSL yang membentak-bentaknya saat ia menyarankan mereka minum obat antiretroviral dan mengenakan kondom bila berhubungan badan. Tapi ia, yang telah tiga tahun melakukan pendampingan, menganggap semua itu sebagai risiko pengabdiannya.
Meski begitu, Dennis mengaku sempat sakit hati oleh ayahnya sendiri, yang amat keras dalam mendidik anak-anaknya. Sang ayah sepertinya berprasangka, dengan gerak tubuhnya yang sedikit gemulai dan pergaulannya dengan para LSL, Dennis telah benar-benar terperosok menjadi gay. Umpatan dan kata-kata kasar pun terlontar dari ayahnya terhadap anak ketiga dari lima bersaudara itu. Bahkan pernah suatu kali, ketika berpamitan pergi ke luar kota untuk tugas kantornya, si ayah justru balas menghardiknya. "Najis punya anak kamu."
Meski tak pernah membalas kebencian ayahnya, apalagi sampai mendendam, ia mengaku kalimat itu kerap terngiang di telinganya. Pedih. "La, terus mau diapain. Kan, bukan saya yang minta lahir feminin begini," ujarnya. Selain itu, di beberapa bagian tubuhnya, ada lingkaran hitam, sehingga kerap disebut sebagai "anak monyet". "Iya, disebut begitu karena ini (lingkaran hitam pada kulitnya)," kata Dennis.
Hubungan tak harmonis dengan ayahnya itulah antara lain yang mendorong lulusan diploma III bidang informatika itu melampiaskan emosinya menjadi pendamping bagi orang-orang yang terinfeksi HIV. Sebelum terjun di lembaga swadaya masyarakat yang berfokus mendampingi orang dengan HIV/AIDS, Dennis sering menjadi tempat curhatteman-temannya yang memiliki orientasi seksual LSL.
Sebagai pegawai bagian farmasi dan kadang membantu praktek di puskesmas, ia paham bagaimana melakukan pendekatan terhadap mereka. Ia menyarankan gaya hidup sehat dengan tak lupa menggunakan pengaman saat berhubungan badan. Dennis juga mengajak LSL mengubah pikiran atas orientasi seksualnya.
"Orang sampai hafal. Saya ini mereka disebut sebagai dokter kondom, HIV, kadang ustad," ujar Dennis, yang akan melangsungkan pernikahan tahun depan.
Kampanye penggunaan kondom di kalangan LSL, kata dia, menjadi penting dilakukan. Sebab, fakta di lapangan menunjukkan, mereka yang terjangkit HIV sebagian besar akibat melakukan hubungan badan sesama pria tanpa pengaman. Selain HIV/AIDS, penyakit lain yang kerap dikeluhkan antara raja singa dan "ceker ayam".
Dennis memilih mal-mal di sepanjang Margonda, Depok, dan di Cibubur, Jakarta Timur, sebagai tempat melakukan pendekatan dan penyuluhan terhadap para LSL. Sebab, di sana para LSL biasa bersosialisasi secara berkelompok. "Kami menyebutnya arisan, kumpul rame-rame sebulan sekali. Terkadang bisa sampai 30-an orang yang datang," ujarnya.
Sejawatnya di Yayasan Komunitas Aksi Kemanusiaan Indonesia memuji kemahiran Dennis bergaul dengan kalangan LSL. Padahal tak semua orang bisa masuk dan diterima komunitas mereka. "Dia sampai disebut dokter kondom dan HIV/AIDS karena selalu dipanggil jika ada pasien yang baru terdeteksi (positif) HIV," ujar Doti, sesama aktivis Yayasan Komunitas Aksi Kemanusiaan.
Sedangkan Aldo, seorang gay yang didiagnosis mengidap HIV, menyebut Dennis sebagai sosok yang hangat, telaten, dan gigih dalam memotivasi kalangan LSL di Depok untuk melakukan seks sehat. "Tak hanya mendampingi, beliau juga melakukan yang saya kira tak dilakukan orang lain. Mulai menelepon, datang menanyakan kabar, mengingatkan minum obat, sampai mengingatkan agar selalu menggunakan kondom. Beliaulah yang menguatkan kami," ujarnya.
"Di antara mereka ada yang nekat mengajak saya kencan, padahal baru satu-dua kali bertemu," kata Dennis, diiringi senyum getir, saat berbincang dengan detikcom di Puskesmas Cimanggis, Kamis, 26 November, petang.
Di lain waktu, justru ada LSL yang membentak-bentaknya saat ia menyarankan mereka minum obat antiretroviral dan mengenakan kondom bila berhubungan badan. Tapi ia, yang telah tiga tahun melakukan pendampingan, menganggap semua itu sebagai risiko pengabdiannya.
Meski begitu, Dennis mengaku sempat sakit hati oleh ayahnya sendiri, yang amat keras dalam mendidik anak-anaknya. Sang ayah sepertinya berprasangka, dengan gerak tubuhnya yang sedikit gemulai dan pergaulannya dengan para LSL, Dennis telah benar-benar terperosok menjadi gay. Umpatan dan kata-kata kasar pun terlontar dari ayahnya terhadap anak ketiga dari lima bersaudara itu. Bahkan pernah suatu kali, ketika berpamitan pergi ke luar kota untuk tugas kantornya, si ayah justru balas menghardiknya. "Najis punya anak kamu."
Meski tak pernah membalas kebencian ayahnya, apalagi sampai mendendam, ia mengaku kalimat itu kerap terngiang di telinganya. Pedih. "La, terus mau diapain. Kan, bukan saya yang minta lahir feminin begini," ujarnya. Selain itu, di beberapa bagian tubuhnya, ada lingkaran hitam, sehingga kerap disebut sebagai "anak monyet". "Iya, disebut begitu karena ini (lingkaran hitam pada kulitnya)," kata Dennis.
Hubungan tak harmonis dengan ayahnya itulah antara lain yang mendorong lulusan diploma III bidang informatika itu melampiaskan emosinya menjadi pendamping bagi orang-orang yang terinfeksi HIV. Sebelum terjun di lembaga swadaya masyarakat yang berfokus mendampingi orang dengan HIV/AIDS, Dennis sering menjadi tempat curhatteman-temannya yang memiliki orientasi seksual LSL.
Sebagai pegawai bagian farmasi dan kadang membantu praktek di puskesmas, ia paham bagaimana melakukan pendekatan terhadap mereka. Ia menyarankan gaya hidup sehat dengan tak lupa menggunakan pengaman saat berhubungan badan. Dennis juga mengajak LSL mengubah pikiran atas orientasi seksualnya.
"Orang sampai hafal. Saya ini mereka disebut sebagai dokter kondom, HIV, kadang ustad," ujar Dennis, yang akan melangsungkan pernikahan tahun depan.
Kampanye penggunaan kondom di kalangan LSL, kata dia, menjadi penting dilakukan. Sebab, fakta di lapangan menunjukkan, mereka yang terjangkit HIV sebagian besar akibat melakukan hubungan badan sesama pria tanpa pengaman. Selain HIV/AIDS, penyakit lain yang kerap dikeluhkan antara raja singa dan "ceker ayam".
Dennis memilih mal-mal di sepanjang Margonda, Depok, dan di Cibubur, Jakarta Timur, sebagai tempat melakukan pendekatan dan penyuluhan terhadap para LSL. Sebab, di sana para LSL biasa bersosialisasi secara berkelompok. "Kami menyebutnya arisan, kumpul rame-rame sebulan sekali. Terkadang bisa sampai 30-an orang yang datang," ujarnya.
Sejawatnya di Yayasan Komunitas Aksi Kemanusiaan Indonesia memuji kemahiran Dennis bergaul dengan kalangan LSL. Padahal tak semua orang bisa masuk dan diterima komunitas mereka. "Dia sampai disebut dokter kondom dan HIV/AIDS karena selalu dipanggil jika ada pasien yang baru terdeteksi (positif) HIV," ujar Doti, sesama aktivis Yayasan Komunitas Aksi Kemanusiaan.
Sedangkan Aldo, seorang gay yang didiagnosis mengidap HIV, menyebut Dennis sebagai sosok yang hangat, telaten, dan gigih dalam memotivasi kalangan LSL di Depok untuk melakukan seks sehat. "Tak hanya mendampingi, beliau juga melakukan yang saya kira tak dilakukan orang lain. Mulai menelepon, datang menanyakan kabar, mengingatkan minum obat, sampai mengingatkan agar selalu menggunakan kondom. Beliaulah yang menguatkan kami," ujarnya.